Pages

Monday, November 15, 2010

Kaca Mata

Menurut saya, hidup ini melewatkan beberapa fase yang terduga dan tak terduga, apalagi ketika masa kita telah mencapai grafik menurun. Beberapa menunjukkan eksistensi dengan melemahkan orang lain. Dus, hal ini terjadi kepada semua orang yang bisa jadi itu adalah saya sendiri.

Eksistensi bukan hanya sekedar mempertahankan kebenaran yang kita anut, atau dengan cara yang sepihak, namun bisa memberi keyakinan dan kenyamanan bagi orang lain yang tidak mengenal kita dengan baik. Eksistensi tidak lah harus menghancurkan apa yang orang punya, tapi memberikan yang kita punya dengan sewajarnya.

Pun, saat saya menulis ini, bukan sebagai wujud eksitensi atau penggambaran karakter yang saya punya, tapi hanyalah alter ego yang saya miliki, yang sedang melampiaskan kata-kata tentang kesadaran untuk bertahan. Beberapa dari kita adalah bukan kita, begitu juga dengan orang lain.

Sebuah pendapat menarik dari Cak Nun yang seorang kawan menyampaikan link-nya kepada saya. Yang dalam hal ini lebih dekat ke masalah keyakinan. Bahwa keyakinan atau agama itu ibarat istri, ibarat kekasih, ibarat pacar, sudikah bila istri atau kekasih atau pacar kita diobok-obok atau dipertanyakan oleh orang lain? Dimana kita harus berdiri? Demi eksistensi yang didasari harga diri atau kebenaran? Pertanyaan kita, kebenaran absolut atau kebenaran mutlak?

Ketika bicara kebenaran, menurut pendapat saya adalah rujukannya ke masalah keyakinan, namun saat bicara kebaikan, adalah sifat kemanusiaan yang lebih ke arah horizontal. Dan apakah keyakinan itu kebenaran absolut yang harus diyakini atau disepakati semua pihak? Tidak, ada berjuta keyakinan di dunia ini, dan tidak semua bisa dipaksakan, maka yakinlah dengan apa yang kita yakini. Saat kita sibuk menilai, kita menjadi tidak tau standar pasti dari apa yang kita nilai. Urusan vertikal adalah bukan wilayah kita untuk mengadilinya. Keyakinan itu bukan hukuman, tapi refleksi jiwa kita ke yang maha berkehendak. Dan masing-masing itu berbeda.

Kita bisa melihat ketika kita mengaku sebagai bangsa beradab dan berbudaya ketimuran, apa yang terjadi ketika ada perbedaan? Tidak adakah ruang untuk berbeda? Bahkan Tuhan pun menciptakan Malaikat, Setan dan Utusannya di muka bumi. Tuhan memberikan pilihan, dan disini, manusia dengan berbagai dalihnya mengambil alih kuasa Tuhan dengan menghukum yang berbeda, menghancurkan yang tidak sama.

Pun sekian kacamata saya sore ini, sebagai refleksi atas apa yang terjadi untuk bumi ini. Jangan takut untuk yakin, dan jangan takut untuk tidak yakin.

Bagimu agamamu agamaku? bukan urusanmu

Minum Kopi

Tidak semua orang suka minum kopi, begitu juga tidak dengan saya. Saya termasuk orang yang tidak menolak kopi. Secara historis, saya dibesarkan dalam tradisi kopi. Ibu saya seorang kopiholic dan ayah saya (dulunya) adalah pecandu kopi.

Saya telah menghisap beberapa macam bentuk penyajian kopi, meskipun saya termasuk tidak terlalu ambil pusing dengan jenisnya. Dari kopi ala kadarnya, sampai kopi kemasan yang ala murahnya. Atau kopi di kedai yang alamak mahalnya. Apapun itu bila kopi saya bakal menghisapnya. Makanya jangan ditanyakan apa itu kopi arabika, atau kopi java, atau kopi ini itu. Saya tidak peduli kawan dan saya tidak tahu. Saya hanya suka kopi. Saya tidak memihak kopi manapun. Saya pecinta kopi independen.

Tapi kawans, saya tidak kecanduan kopi, saya minum kopi bila ada, dan tidak mencari bila tak ada. Ketika saya bilang suka, saya tidak pernah mengusahakan agar hal itu "ada".

Makanya kawans, kopi adalah teman saya, dan teman saya saat ini adalah kopi.